Invlinic Blog

Investment Outlook: Apakah Resesi Ekonomi Amerika Tidak Akan Terjadi?

Isu resesi masih ramai menjadi perbincangan hingga saat ini setelah kepanikan jatuhnya pasar keuangan seperti NASDAQ, S&P500, NIKKEI, IHSG dan berbagai mata uang pada 12 Juli hingga awal Agustus 2024.

Isu resesi masih ramai menjadi perbincangan hingga saat ini setelah kepanikan jatuhnya pasar keuangan seperti NASDAQ, S&P500, NIKKEI, IHSG dan berbagai mata uang pada 12 Juli hingga awal Agustus 2024. Banyak media ataupun ekonom yang memprediksi resesi benar-benar terjadi setelah indikator resesi seperti inverted yield curve dan sahm rule juga memberikan indikasi yang sama. Namun ditengah ketakutan tersebut sepekan terakhir market pulih dengan sangat signifikan misalnya NASDAQ telah rebound +9%, NIKKEI+20%, bahkan IHSG telah melebihi level sebelum terjadinya koreksi (Higher-High).

Kejatuhan pasar beberapa waktu lalu banyak dikaitkan dengan dua faktor utama yakni melemahnya kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS), dan Bank of Japan (BoJ) yang menaikan suku bunga Jepang. Pelaku pasar mulai mengidentifikasi adanya pelemahan ekonomi AS setelah data Inflasi di tingkat konsumen bulan Juni yang di rilis yang turun jauh lebih cepat dari ekspektasi dan melemahnya tingkat kepercayaan konsumen ke level terendah dalam 8 bulan terakhir. Sentimen kekhawatiran ini kemudian memuncak ketika Bureau of Labor Statistics (Dinas Ketenagakerjaan) merilis data pengangguran telah mencapai angka 4.3% yang merupakan tingkat tunakarya terbanyak dalam hampir 3 tahun terakhir. Banyak analis ekonomi melihat performa ini merupakan imbas tingginya suku bunga AS yang tidak kunjung turun menyebabkan investor khawatir pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) melemah dan pengangguran meningkat secara tidak terkontrol lalu masuk ke jurang resesi.

Belum selesai dengan memburuknya ekonomi Amerika, pasar kembali diguncang keputusan BoJ yang kembali menaikkan suku bunga pada 31 Juli 2024 hingga total telah menaikkan 25 basis boin atau 0.25% dalam 5 bulan terakhir. Kejadian ini menimbulkan banyak aksi liquidasi dengan penjualan aset-aset ekuitas dan intrumen investasi lain oleh para “carry trade” akibat meningkatnya beban bunga. Sebelumnya banyak pelaku pasar yang melakukan carry trade dengan meminjam uang di jepang dengan suku bunga hampir 0% dan menginvestasikannya di negara atau aset lain yang lebih menguntungkan.

Dua faktor ini kemudian mendorong aksi jual besar-besaran dan membuat banyak financial instrument terkoreksi sangat signifikan, bahkan NIKKEI (indeks saham jepang) mengalami penurunan terbesar sejak peristiwa black monday 1987. Namun pada akhirnya kejadian ini memunculkan pertanyaan besar di benar para investor yakni “apakah resesi masih akan terjadi?”

Resesi & Perlambatan Ekonomi

Resesi ekonomi pada dasarnya merupakan melemahnya pertumbuhan ekonomi jangka panjang ditandai dengan negatifnya GDP dua kuartal berturut-turut dan tingkat pengangguran yang tinggi. Sehingga menelisik apakah resesi akan terjadi atau tidak hanya harus berdasarkan data pertumbuhan GDP dan data ketenagakerjaan.

Dari data yang dikeluarkan oleh Bureau of Economic Analysis (BEA) AS, GDP Amerikasaat ini sama sekali belum mengalami dua kuartal pertumbuhan negatif meskipun mengalami penurunan sejak kuartal III 2023. Namun perlu dipahami bahwa disaat yang bersamaan, Amerika Serikat memang “menginginkan” penurunan pertumbuhan GDP tersebut akibat tingginya inflasi saat pulihnya ekonomi pasca Covid-19 dengan menaikkan suku bunga sebanyak 5.25% hanya dalam dua tahun dan saat ini inflasi telah mendekati target Federal reserve (The Fed) 2%. Kemudian jika yang menjadi kekhawatiran adalah data pertumbuhan GDP kuartal II 2024 mulai turun, data estimasi pertumbuha GDP yang dirilis oleh BEA akhir bulan Juli menunjukan angka positif 2.8%. Meskipun masih dapat berubah karena sebuah estimasi, tentu data final yang akan dikeluarkan pada bulan September tidak akan jauh berbeda.

Dari sisi ketenagakerjaan, meskipun tingginya tingkat pengangguran melebihi ekspektasi The Fed namun tidak signifikan jika dibandingkan resesi-resesi yang terjadi sebelumnya terlebih kenaikan ini juga “diharapkan” terjadi agar inflasi kembali normal. The Fed juga sebenarnya telah mengkonfirmasi adanya pemangkasan suku bunga pada bulan September dengan estimasi pemotongan suku bunga 0.5% hingga 0.75% hingga akhir tahun agar GDP dan ketenagakerjaan dapat pulih.

Dari analisis diatas, kita dapat melihat terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi ini sebagai sesuatu yang wajar akibat quantitative tightening oleh The Fed yang menaikkan suku bunga acuan. Terlebih, pasca Covid-19 terjadi fenomena ekonomi Bullwhip Effect dimana permintaan dan penawaran pasang-surut tidak menentu secara drastis yang membuat perubahan inflasi menjadi deflasi dan sebaliknya terjadi begitu cepat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi hanya sebatas “Perlambatan Ekonomi” saja dan bukan Resesi yang mengerikan.

Disclaimer

Analisis dibuat dengan independen dan itikad baik. Keputusan beli dan jual ditangan pembaca sepenuhnya. Cermati kembali sebelum memutuskan.

Agar Anda bisa jadi knowledgeable investor, terus ikuti blog Invlinic untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang perencanaan keuangan, strategi investasi, tips trading, dan berita pasar terbaru.